<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Jumat, 09 Maret 2012

Kalau Semua Patuh, TBC Lebih Mudah Diberantas

Jakarta, Penyakit tuberculosis atau TBC merupakan penyakit lama yang sampai kini sulit diberantas. Karena penyakit ini sebenarnya sudah ada obatnya, maka kunci sukses untuk memberantasnya hanya kepatuhan dari semua pihak yang berkepentingan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memiliki standar pengobatan TBC (resminya disingkat TB), yang cukup memadai yakni Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS). Pada periode tahun 1995-2008, sebanyak 36 juta pasien berhasil diobati dengan metode ini dan kasus kematian telah turun dari semula 8 persen menjadi 4 persen.

Deteksi dini dan penyebarluasan infomasi tentang TBC ke masyarakat memegang peran penting dalam mengatasi penularan penyakit ini. Namun di samping itu semua, kepatuhan memegang peran paling penting karena jika tidak patuh maka semua upaya akan menjadi sia-sia.

Pihak-pihak yang diharapkan memiliki kepatuhan dalam upaya pemberantasan TBC seperti antara lain sebagai berikut.

1. Pasien
Kepatuhan pasien dalam menelan obat merupakan kunci utama dalam pengobatan pasien TB. Pasien yang tidak patuh tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat di sekitarnya karena ia bisa menularkan kuman TB yang bahkan sudah kebal pengobatan.

Saat ini, kasus TB kebal obat di Indonesia prevalensinya sudah cukup banyak yakni mencapai 1-2 persen dari prevalensi TB biasa. Ketika sudah mulai kebal obat, TB butuh waktu pengobatan lebih lama yakni sampai 2 tahun sementara obatnya juga lebih keras dan mahal.

2. Fasilitas pelayanan kesehatan
Semua fasilitas kesehatan mulai dari rumah sakit hingga puskesmas perlu mematuhi semua persyaratan standar yang diberlakukan bagi pelayanan TB. Rumah sakit misalnya harus menyediakan tempat layanan khusus pasien TB yang disebut unit DOTS, tempat khusus tersebut penting selain untuk mempermudah pelayanan dan memonitor hasil pelayanan, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penularan terhadap pasien umum lainnya.

Rumah sakit juga harus menyediakan tempat pengambilan dahak yang memenuhi persyaratan Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI). Kalau tidak punya ruangan khusus, dapat menggunakan tempat lapangan terbuka dibawah sinar matahari dan jauh dari tempat berkumpulnya masyarakat umum.

3. Dokter sebagai pemberi pengobatan (provider)
Dokter sebagai pemberi pengobatan harus patuh menerapkan ISTC (International Standard for TB Care). Tidak hanya dengan memberikan obat yang paling tepat, dokter juga harus bisa menilai kepatuhan pasien, menangani jika terjadi ketidakpatuhan dan mampu meyakinkan pasien sampai pengobatan selesai.

Dalam melaksanakan tugasnya, dokter sebagai provider perlu dibantu juga oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dipercaya oleh pasien. Ibu PKK, kader kesehatan, keluarga pasien dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB.

4. Penyedia layanan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) bagi pasien
KIE mutlak harus diberikan oleh para provider seperti dokter, perawat, petugas farmasi serta petugas KIE lainnya. Penekanan KIE adalah kepatuhan pasien akan pemeriksaan mikroskopis ulang, cara mengeluarkan dahak, cara menelan obat (jenis, jumlah, waktu), serta cara pencegahan dengan natural ventilation, termasuk etika batuk.

Kepatuhan terhadap KIE bukan saja dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien, juga dapat mencegah terjadinya penularan, meningkatkan produktivitas masyrakat, yang pada akhirnya juga dapat mencegah terjadinya TB kebal obat.

Dampak ketidakpatuhan

Bagi pasien sendiri, ketidakpatuhan akan membuat penyakitnya susah sembuh, menurunkan produktivitas, menulari orang di lingkungannya dan berisiko mengalami kebal obat yang bisa berujung pada kematian. Ketidakpatuhan dari pihak selain pasien lebih banyak meningkatkan risiko penularan.

Secara ekonomi, dampak dari ketidakpatuhan juga sangat merugikan. Sekitar 75 persen pasien TB berasal dari kelompok usia produktif yakni sekitar 15-50 tahun dan tiap tahun akan kehilangan rata-rata 3-4 bulan masa kerja karena penyakitnya tersebut.

Risiko kekebalan atau resistensi terhadap pengobatan juga sangat mengkhawatirkan. Selain memakan waktu lebih lama, pengobatan untuk TB yang sudah resisten akan memicu lebih banyak efek samping, lebih mahal dan tentunya kumannya juga lebih mudah menular.

Penulis
Dr. Fainal Wirawan, MM.MARS
Penulis pernah bekerja di puskesmas, rumah sakit daerah, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Setelah pensiun kini bekerja sebagai Technical Officer pada KNCV Tuberculosis Foundation TB CARE/USAID.
(up/ir)

0 komentar:

Posting Komentar